Kurban versi Thomas Lembong lebih perih dari korban perasaan

September 26, 2015 § Leave a comment

Umat muslim baru saja merasakan nikmatnya daging sapi ataupun kambing. Ada yang mendapatkan secara gratis, tapi tidak sedikit juga mereka berbagi kepada sesama umat.

Namanya juga Idul Adha, hampir semua orang, terutama di negara yang mayoritas beragama Islam ini menikmati kenyalnya daging. Tapi tidak sedikit juga yang memutuskan untuk menjualnya ke pedagang sate, bakso atau restoran.

Saya tidak akan bercerita perihal itu. Pengalaman waktu merayakan hari raya kurban di Jayapura memiliki nuansa berbeda. Terutama, saat itu kondisinya sedang berada di lingkarang orang-orang perantau dari Makassar.

Perantau dari Sulawesi Selatan ini menganggap, Idul Adha sebagai waktu untuk berkorban. Jika tidak bisa sapi, maka kambing. Kalau kambing juga tak bisa maka ayam kampung. Bahkan jika ayam kampung tak juga bisa, maka darah dari tubuh harus dikorbankan.

“Pokoknya harus ada darah yang diteteskan ke tanah,” ujar Om Bahar beberapa waktu silam.

Mengerikan? Menurut saya enggak. Pernyataan Menteri Perdagangan Thomas Lembong yang sebenarnya lebih sulit untuk dilakukan di Indonesia.

Thomas Lembong yang menggantikan Rahmat Gobel ini meminta jajaran di bawahnya untuk mengorbankan ego, atau gampangnya kepentingan pribadi. Kalau kata orang korban perasaan udah biasa, coba kali ini korban penghasilan.

Bukan perkara mudah untuk menakar ulang penghasilan sehari-hari pejabat eselon I di kementerian. Biasanya bisa main golf seminggu dua kali, kini harus terpangkas sekali dalam dua minggu.

Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pernah mengungkapkan, salah satu cara untuk melawan korupsi adalah dengan memberikan penghasilan yang cukup, alias gedhe. Jaminan? Enggak bos. Wong mereka lebih milih gaji standar pegawai kontrak tapi dapat proyek miliaran.

Lalu bagaimana mengatasinya? Indonesia sudah punya jawabannya. Permasalahannya berani gak nerapinnya.

“Hidup sederhana. Gak punya apa-apa tapi banyak cinta,” setidaknya itu kata Band Slank dalam salah satu lagunya.

Susah bos hidup dengan kata cukup. Semakin tinggi penghasilan seseorang maka standar hidup akan ikut naik. Jadi mundahnya, sederhananya pegawai bergaji Rp 3 juta sama Rp 10 juta udah beda.

Pandangan soal sederhana itu gimana sih? Berpakaian seperti apa? Makan apa? Naik kendaraan apa? Handphonenya apa? Atau belanjanya apa?

Punya jawabannya? Monggo silahkan berkomentar pada ruang yang disediakan. Indonesia ini demokrasi semenjak Presiden Indonesia kedua Soeharto dilengserkan oleh Amien Rais. Apa iya? Tanya ulang lagi pada diri sampean komandan.

Hemat saya, Thomas Lembong yang notabenenya non-Islam saja bisa memaknai Hari Raya Idul Adha lebih jauh dibandingkan sebagian kecil pembaca Al-Quran. Loh, emang kitab suci dibaca? Paling juga berbedu dan tersusun rapi bersama beberapa karya Pramoedya Ananta Toer atau mungkin Emha Ainun Nadjib.

“‎Pada musim kurban ini kita melakukan kurban yang nyata. Dan kalau saya renungkan kondisi saat ini yang harus kita kurbankan adalah ego. Bila masih ada kecenderungan untuk ego, itu yang saya minta dipotong, dikurbankan demi Allah,” kata Thomas Lembong di kantornya, Jakarta, Jumat (25/9).

Temen-temen jomblo dan sakit hati masih merasa bangga dengan sering berkorban perasaan? Ini urusan perut, bensin dan pulsa bos. Gak dibelikan handphone saja seorang anak bisa memilih mengakhiri hidupnya.

Ini pegawai negeri sipil diminta untuk mengorbankan kepentingannya demi orang lain yang tidak mereka kenal, masyarakat Indonesia, apa bisa? Silahkan jawab sendiri.

Penyesalan karena belum mengabdi

September 20, 2015 § Leave a comment

Matahari tenggelam mempersilahkan bulan untuk bertengger di semesta. Manusia dari bayi menjadi muda, dewasa dan berakhir dengan tua kemudian tiada. Tak ada yang dapat bertahan hingga penghujung masa bahkan Isa sekalipun.

Telinga ini tidak sengaja mendengar gerutu beberapa wanita yang mengeluh saat mengurusi seorang kakek. Mereka merasa mual saat akan membersihkan kamar berukuran 3×4 meter berbau pesing.

“Rasanya kaya hamil lagi. Bawaannya pengen muntah. Males banget gue ngurusinnya,” keluh perempuan berusia 30-an tahun tersebut.

“Emang siapa mbak?” tanyaku bingung.

“Tuh orang tua,” jawabnya singkat.

Bingung? Jelasnya. Saya teringat saat mama dan papa melakukan pembicaraan serius. Mereka berdua membicarakan rencana pindah rumah karena nenek dari mama tengah sakit, dan tidak ada yang mengurus. Kakak mama masih sibuk berpolitik bersama partai berwarna dasar hijau itu.

“Pulang aja (ke rumah nenek). Selagi masih ada jangan disia-siakan. Jangan terlambat,” kata papa kala itu.

Saya mengetahui alasan papa memutuskan yang berat ini. Nenek dari papa sempat mengalami sakit berat dan dirawat di rumah sakit. Selama diinapkan di sana, papa tidak sempat untuk sekadar menengoknya. Alhasil, saat kabar buruk datang melalui seluler canggihnya, dia langsung terbang menuju Klaten untuk menghadiri pemakaman ibundanya. Ini alasan papa memutuskan hal tersebut.

Karena kami pindah, otomatis sekolah saya dan adik-adik pindah. Dua truk disewa untuk membawa beberapa barang. Sedangkan papa hanya mengantar ke kampung halaman. Sebab dia harus kembali ke Jakarta untuk mencari nafkah.

Lekat betul perjuangan dari keputusan ini. Papa terpaksa harus pulang kampung setiap seminggu sekali menggunakan kereta. Dan ini dilakoninya dalam tempo waktu cukup lama. Dia lelaki hebat yang memberiku banyak pelajaran menjadi seorang suami.

Kondisi nenek berangsur membaik. Rapat kecil kembali digelar. Keluarga bahagia kami akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta.

Lalu mengapa perempuan berambut panjang itu mengeluh mengurusi kakeknya? Dia tidak perlu mengeluarkan biaya dan mengorbankan apapun. Kalau cuman pesing dan bau obat serta kotoran yang menjadi kendala, jujur saya sudah pernah menanganinya. Tidak terlalu buruk kok.

Ini menjadi nasehat untuk diri saya sendiri. Masa tua adalah bagaimana memupuk sang anak. Pendidikan semacam ini memang diajarkan dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Tapi siapa menyangka penerapannya lebih rumit.

Lekas bangun teman-teman. Saya memang bukan sosok yang berbakti kepada orang tua, tapi aku tahu kapan harus pulang. Kini hanya tinggal mama. Papa sudah menyelesaikan perannya di dunia walaupun singkat.

Terima kasih papa.

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with pengabdian at Another Heaven.